Perempuan dan Pilihan-Pilihan: Menarasikan Pilihan “Waithood” dan “Childfree”

            Tulisan ini bermaksud menarasikan pemahaman saya sebagai manusia (individu) ketika berada di tengah masyarakat dan melakukan pengamatan. Proses pengamatan berpusat pada situasi ketika individu (perempuan) diperhadapkan dengan pilihan-pilihan dan harus memilih diantaranya. Tidak bermaksud untuk menghakimi, tapi hanya mau berbagi. Harapannya sih mau menggelitik pemikiran dan pemahaman yang tak pasti. Meski kita tahu dalam kehidupan saat ini agak sulit untuk mencari kepastian.

            Kita mulai dengan pemahaman bahwa perempuan diberikan hak untuk bisa memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Meskipun berbicara pilihan-pilihan harus dilengkapi dengan berbagai penjelasan. Karena itu, tidak bermaksud membuat tulisan yang memiliki standar ilmiah dan sarat akademis karena hanya mau menulis, itu saja! Tulisan inipun mau berfokus dengan dua isu yang menurut saya menarik untuk ditulis dan disimpan sebagai jejak digital. (Setidaknya saya pernah menulis mengenai isu ini sebagai kenang-kenangan dan pengingat. Termasuk autokritik bagi diri sendiri yang seringkali terjebak pada pilihan yang salah.) Isu yang saya mau tulis yaitu isu “Waithood” dan “Childfree” (Single but not ready to mingle, Tirto.id, 28 agustus 2021). Kedua isu tersebut juga dibahas dalam konten Tirto.id yang saya lihat di media online Instagram.

Pertama, “Waithood” yaitu mereka yang memilih untuk belum menikah, memilih menunda pernikahan atau memilih untuk tidak memiliki pasangan dulu. Menikah memang bukan pilihan yang mudah dan bukan hanya memilih mau minum apa. Kita pun saat memilih minuman memiliki banyak pertimbangan, apalagi memilih pasangan. (Meski terkadang ada juga pilihan yang salah karena memilih disaat masih ngantuk atau disaat lapar).

            Masyarakat umum khususnya keluarga paling suka untuk bertanya “Kapan nikah?”. Pertanyaan simpel tapi punya kontrol sosial yang kuat, juga mengakibatkan beban moral yang cukup berat bagi “korban” yang harus menjawab pertanyaan itu. Seakan-akan menunda pernikahan adalah kondisi yang menyimpang dari ajaran moral juga nilai agama. Padahal menunda pernikahan adalah lebih baik daripada terjebak dalam pernikahan yang salah. Lebih khusus bagi perempuan yang biasanya dituntut untuk menikah lebih cepat karena takutnya fungsi reproduksinya terhambat, atau jangan terlalu banyak memilih nanti dapat “sisa”. Persoalan menunda pernikahan bagi perempuan adalah hak (sebenarnya). Karena sebagian perempuan masih meniti karir, menjalani pendidikan, belum menemukan pasangan yang tepat, lebih betah melajang dan menjalin hubungan tanpa status, atau harus menjaga orang tua yang lagi sakit. Tidak ada salahnya dengan semua itu.

Pilihan pernikahan adalah berbeda di setiap perempuan karena tidak semua memiliki latar belakang yang sama. Setiap pilihan perempuan untuk menikah cepat atau belum menikah bukan untuk dihakimi mana yang paling benar. Karena memilih menikah adalah persoalan mana yang paling siap. Membangun lembaga keluarga (institusional) diawali dengan pernikahan, karena itu akan membawa banyak perubahan dalam kehidupan yang saya rasa tidak perlu dijelaskan dengan detail disini. Meskipun adapula yang sudah menikah tapi tetap memiliki kehidupan yang bebas selayaknya individu yang belum menikah. Karena itu kita harus memahami pernikahan bukan kehidupan yang punya aturan yang baku, tetapi aturan yang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang menjalani. Sebagai tambahan, kita sebagai perempuan jangan mau menyamakan pernikahan nantinya akan seperti di film ‘Disney” dengan kalimat “Hapily ever After” karena menikah biasanya masuk dalam labirin yang baru. Namun, ada yang menjalani kehidupan pernikahan yang sama dengan pernyataan itu “berbahagia selamanya”, tetapi ada juga kenyataannya yang berbeda.

Kita lanjut dengan isu yang kedua yaitu isu “Childfree” yang lagi dibicarakan dalam dunia digital, dimana terdapat beberapa orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak walaupun sudah menikah. Diulangi lagi pilihan ini memiliki latar belakang yang beragam. Isu ini bukan hal baru sebenarnya tapi menjadi viral karena dibahas oleh salah satu “influencer”. Dari sudut pandang saya sebagai perempuan, bila seorang perempuan atau keluarga memutuskan untuk “Childfree” itu tidak masalah. Karena rahimnya adalah miliknya; dimana sang perempuan bisa memilih untuk hamil atau tidak, termasuk dia mau hamil dengan siapa. Tubuh perempuan adalah miliknya dan bukan orang lain. Meski banyak yang kontra dengan keputusan itu. Tapi, sudahlah! Kayaknya sudah cukup zaman dimana kita harus mengkritik milik orang lain. Walaupun hidup dalam kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari kontrol sosial. Melihat juga konteks yang ada sekarang, tidak mudah memang untuk menghadirkan generasi lagi.

            Apalagi perempuan masih mau “dituntut” untuk memiliki anak, harus mengatur strategi untuk mendapat pelayanan kehamilan yang aman. Perempuan harus merasa nyaman dalam menjaga kesehatan reproduksinya dan kesiapan mentalnya. Namun, kita jangan salah kaprah dengan perempuan yang memilih untuk “childfree”. Karena mereka punya pertimbangan sendiri yang kita sebagai orang luar hanya berhak untuk menghormati dan tidak berkewajiban untuk mengomentari. Perempuan juga yang memilih untuk “childfree” tidak berhak untuk menyalahkan perempuan lain yang memilih untuk memiliki anak. Karena pasti ada alasan dan perhitungan dari setiap keputusan.

Dengan demikian, kebiasaan memberikan pertanyaan yang menekan seperti “Kapan punya anak?”, “Mengapa belum hamil?”, “Kapan nikah?” kayaknya jangan lagi dilakukan. Seakan prestasi menjadi perempuan hanya sebatas melahirkan anak dan menikah! Apakah kerahiman perempuan dapat didekonstruksi ke bagian reproduksi yang lain? Reproduksi prestasi dan reproduksi pengetahuan misalnya. Perempuan punya banyak prestasi di berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Ragam prestasi perempuan yaitu, memiliki karir yang mapan, mampu menggapai cita-citanya dalam meraih pendidikan tinggi, berhasil membuka usahanya yang sudah lama dia rintis, berhasil mengatasi persoalan Kesehatan mentalnya yang dia gumuli sejak lama. Begitu juga dengan reproduksi pengetahuan yang semakin terbuka menyebabkan banyak perempuan bisa berhasil membebaskan diri dalam hubungan yang toksik. Termasuk perjuangan perempuan yang berani bicara terhadap pelecehan seksual yang pernah dialami dan perlawanan terhadap trauma masa lalu. Menikah dan memiliki anak juga bukan hanya perayaan tetapi pergumulan, dimana akan sangat berbahaya dijalani bagi mereka yang belum selesai berdamai dengan keinginan diri sendiri.

             

           

Comments

  1. Setuju sekali, tradisi singgungan "nikah...anak" harus dipikirkan lagi. Lagipula bumi ini sudah full, jelas sekali dengan banyak sampah jejak manusia disegala tempat. Beberapa puluh tahun kedepan bumi dalam keadaan genting. "Make a Kin no a Babies" D. Haraway. Terimakasih tulisannya Mem Lidya

    ReplyDelete
  2. Tulisannya sangat bagus mem Lid 😊

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perempuan dengan Pilihan untuk Menulis (Hanya Menulis Saja! Titik!)

Tugas Akhir Menggapai Gelar: Perjuangan, Perayaan, dan Penelitian