Perempuan dengan Pilihan untuk Menulis (Hanya Menulis Saja! Titik!)
Ini adalah tulisan pemanas sebelum menulis tulisan yang dipandang lebih serius atau lebih menguntungkan dalam tanda kutip. Menulis adalah cara saya berkata-kata, meski tak dapat dibicarakan, tapi mudah-mudahan bisa didengar tanpa harus berbicara. Begitulah! salah satu salah dua dari sekian banyak pilihan untuk "healing" dari rutinitas yang bisa saja menjerat akal sehat.
Terus kenapa harus ada pakai kata "perempuan" dalam judul ? jawabannya sederhana saja karena saya perempuan. Jawabannya memang klise tapi begitulah bias gender menjadi sensitif dalam menulis suatu karya. Saat kita akan disinggung posisi yang dipilih sebagai penulis menentukan arah pandang sekaligus narasi yang disampaikan dalam sebuah tulisan. Menulis adalah cara untuk menyembuhkan diri disaat harus dilimpahi dengan pekerjaan administratif yang menjebak saya berkarya. Memang tidak semua orang merasa begitu, tapi saya rasakan begitu. Maaf kalau salah salah atau terlalu blak-blak-an. Sepertinya saya terlalu malas untuk mengisi aspek-aspek bukti kinerja yang terdiri dari berbagai berkas yang harus dilengkapi dengan bukti-bukti dalam satu kertas. Sebenarnya saya rasa bingung harus mulai darimana dan dapat "mood' darimana untuk memulai. Seketika menulis laporan menjadikan saya harus tunduk pada sebuah format yang terkesan kaku dan mendudukkan pemikiran dalam sebuah kotak. Padahal, sebagai peneliti yang masih cetek seperti saya, melatih diri untuk menulis dan mengkaji suatu isu dalam kaidah ilmiah harus menjadi kebiasaan atau lebih kerennya gaya hidup. Tapi, semoga saja suatu saat saya bisa bebas, saya bisa membaca, menulis dan meneliti dengan bebas! Semoga ada orang bagian administratif yang ditugaskan untuk membantu saya agar tidak bingung dengan pekerjaan yang bukan keahlian saya. Inilah sebuah harapan agar waktu saya bisa lebih longgar untuk (sekali lagi) membaca, menulis dan meneliti agar menghasilkan tulisan yang bisa mencerahkan dan berguna. Mudah-mudahan karena narasi ini adalah harapan, bisa juga adalah doa.
Lanjut lagi, menulis adalah hal yang penting karena pemikiran yang dibicarakan akan senyap dan tak terdengar bila berhenti dibahas. Tapi, tulisan akan tetap tertinggal dalam buku, artikel, atau media yang bisa meninggalkan jejak. Sepertinya saya harus meminjam kata-kata Eyang Pramoedya "... menulis untuk keabadian...". Maaf bila saya salah kutip. Namun, kalimat itu menjadi kata-kata pamungkas bagi para penulis atau orang-orang yang senang menulis. Saya mengartikan bahwa ketika saya bisa menulis, narasi yang saya sampaikan akan terus diingat orang. Dengan catatan: sejauh tulisan saya dibaca, sejauh tulisan saya menarik, sejauh tulisan saya menghayat hati, sejauh tulisan saya berguna untuk disitasi. Setelah saya pikir-pikir ada sebuah relevansi antara bergunanya sebuah tulisan dan kultur membaca. Apakah saya bisa katakan, tulisan akan mati bila berhenti dibaca? tak perlu juga dijawab.
Namun, permasalahannya saya memilih pekerjaan yang sekarang saya guluti agar bisa menulis dan meneliti (selain bisa mengajar, kalau ini saya tidak terlalu hobi karena menurut saya, diri saya perlu diajar). Tapi, saya bingung karena kondisinya berbeda, saya terkungkung dalam polemik posisi yang paradoks. Atau bisa saja ini terjadi karena ekosistem riset belum terbentuk, atau sementara menyusun fondasi. Tapi, bagaimana kalau itu tidak menjadi prioritas? bagaimana kalau saya menjadi tumpul dalam menganalisa dan tulisan saya tak bisa lagi disajikan karena saya bingung dengan rutinitas administratif. Mungkin narasi ini dikarenakan saya terlalu galau atau melankolis.
Sebenarnya, saya hanya mau memilih untuk menulis dan bersedia untuk dilatih agar bisa menjadi penulis yang handal. Perempuan yang memilih untuk menulis agar bisa menyuarakan keresahan dalam diri secara elegan (semoga) dan santun. Namun dalam narasi tulisan yang tajam dengan penalaran yang jelas. Apalagi bisa menulis hasil riset yang dilakukan dengan serius dan memiliki data yang memadai. Hal terpenting memiliki kontribusi yang jelas pada pergerakan dan transformasi sosial yang memberdayakan. Intinya, saya punya pilihan yang diharapkan bisa didukung. Apabila belum, atau saya terlalu naif memilih pilihan itu, mungkin saya salah tempat. Demikianlah sebuah kompleksitas yang hanya ingin ditulis tanpa berpikir sebuah solusi. Kembali lagi diawal, kan tulisan ini hanya sebuah pemanasan untuk menulis beberapa tulisan yang lebih serius. Tapi, kalau ada interpretasi lain, atau disalah-artikan, itu bukan salah saya. Karena saya hanya ingin menulis, itu saja! :D
LK (Manado, 7 April 2022).
Tetap semangat menulis!
ReplyDelete🤩🤩🤩
ReplyDeleteSemangat menulis
ReplyDeleteSalam pute waya :)