Hiperrealitas dan Representasi Diri yang Virtual di Media Sosial

Mengapa yah setiap meng-update foto di media sosial sebagian orang akan menampilkan foto terbaiknya? Malahan, sebagian orang akan memakan waktu cukup lama hanya menentukan satu foto yang akan dia tampilkan di profil media sosial. Mungkin saja, saya juga termasuk, meski saya tidak terlalu sering mengganti foto di media sosial. Tetapi tidak tahu kenapa di masa pandemi Covid-19 ini saya lebih sering mengganti foto dan membagi postingan di media sosial dibandingkan waktu yang lampau. Akan tetapi, hal yang membingungkan adalah perbedaan yang mencolok atas penampakan wajah di foto profil media sosial dengan kondisi aslinya. Maksudnya, anggapan yang timbul ketika kita melihat foto profil seseorang kok berbeda dengan kondisi yang asli. Tetapi terdapat beberapa spekulasi yang dapat kita simpulkan, misalnya, mereka menampilkan foto di masa lampau sebagai foto profil. Sebagian orang ada yang mengedit foto sedemikian rupa dengan menggunakan berbagai aplikasi untuk terlihat “sempurna”. Bisa juga mereka pakai foto orang lain, (anggaplah yang terakhir ini humor!). Disisi lain, penyajian foto di media sosial menunjukkan kehidupan yang bahagia tanpa noda dan dukacita. Sebagian dengan berbagai pose menunjukkan kegiatan keseharian dan perbuatan baik untuk saling mendukung dalam rangka kemanusiaan. Lagi-lagi dinamika media sosial menjadi asyik untuk dibicarakan apalagi dikaitkan dengan intrik manusia untuk merepresentasikan diri (baik sebagai individu atau kelompok) dalam dunia virtual.      
            Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang paling sempurna karena memiliki akal budi yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Tetapi, manusia memiliki hasrat dan ketidakpuasan akan berbagai hal yang dapat menjadi kelebihan sekaligus kelemahannya. Manusia punya banyak kelebihan tetapi selalu merasa memiliki kekurangan. Meskipun kita melihat mereka dalam kondisi tubuh atau penampakan wajah yang terbaik, tapi ada saja alasan yang membuat manusia tidak percaya diri. Tidaklah mengherankan kita disajikan dengan berbagai aplikasi yang dapat mengedit foto untuk terlihat sempurna (konstruksi sempurna menurut kita, karena selera setiap orang berbeda). Patut kita pahami aplikasi edit foto ini adalah produk kemajuan teknologi untuk kita manusia. Apalagi yang suka gonta-ganti foto di media sosial atau hobi mengedit foto profil atau postingan foto dengan beragam emoticon yang ada. Tentunya kondisi ini tidak akan kita temukan dari kakek dan nenek kita (tapi ada juga sebagian kakek-nenek kita yang sudah gaul media sosial, yah..). Namun, konteks yang saya maksudkan ketika mereka masih mengambil foto pakai kamera film (tustel) dan bertukar informasi dengan surat menyurat bukan media sosial. 
Kembali ke konteks saat ini, tak dapat dipungkiri teknologi internet dan media sosial hadir sebagai pelengkap kehidupan manusia dalam masyarakat. Lebih tepatnya sudah terintegrasi dalam kehidupan manusia. Namun, teknologi menghilangkan realitas yang nyata menciptakan suatu realitas yang penuh dengan kesengajaan. Realitas yang disimulasi atau dikenal hiperrealitas. Diawal bukunya Bapak Jean Baudrillard yang berjudul Simulakra, beliau tekankan begini:
Today abstraction is no longer that of the map, the double, the mirror, or the concept. Simulation is no longer that of a territory, a referential being, or a substance. It is the generations by models of a real without origin or reality: a hyperreal.” (Baudrillad, 1994: 1)
Sulitnya kita menarik titik referensi yang jelas terhadap kebenaran dalam media sosial di dunia virtual yang bernuansa hiperrealitas. Nah, begitu pula Manusia terlalu lemah untuk menjalankan yang sesuatu yang tidak nyata sehingga diperlukan simulasi, alasannya dikutip dari Ritzer dalam bukunya Teori Sosial Postmodern mengenai pemikiran Baudrillad, “keberadaan simulasi yang tersebar luas adalah alasan umum bagi pengikisan perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dan yang palsu”. (Ritzer, 2010: 162).
Lewat foto profil teman-teman (dan mungkin termasuk saya, hehehe) di media sosial yang melalui proses editing sedemikian rupa, juga postingan media sosial yang disimulasikan dapat menjadi representasi realitas diri virtual yang “abu-abu”. Kembali lagi dengan pemikiran Baudrillad mengenai hiperrealitas, kita juga tidak dapat menebak sekaligus membedakan antara yang riil karena antara tanda dan realitas sulit untuk dipisahkan (Ritzer, 2011). Memang ada juga berbagai foto di media sosial terlihat begitu sangat nyata dan alami bahkan melebihi yang sebenarnya nyata. Pencitraan kita sangat luar biasa di media sosial terlepas dari latar belakang terdapat suatu hal yang disimulasi oleh kode sebuah program komputer. Berbagai postingan kita di media sosial nyatanya adalah simulakra yang diciptakan (re-created) kembali oleh kita (lagi) yang bisa saja mengaburkan batas antara yang nyata dan hasil simulasi.
Terkadang bila kita terlalu terpesona dalam realitas di media sosial bisa saja yang rasional ataupun yang nyata tidak lagi dapat terus bertahan. Apalagi kalau lingkungan masyarakat kita yang didominasi oleh industri pencitraan dunia maya. Masyarakat yang tidak melakukan filterisasi biasanya tidak melihat atau mengkritisi, apakah realitas di media sosial yang disajikan itu asli (riil) atau imajiner dan hanya berlaku di dunia digital.
Maka dari itu, kita jangan terjebak dalam dunia imajiner media sosial. Terbelenggu dalam kesempurnaan representasi diri yang virtual namun penuh kepalsuan. Tidak mengapa menyajikan kebenaran dalam dunia virtual, tidak mengapa pula mengedit foto profil atau postingan media sosial. Tetapi, janganlah mengganti esensi diri kita yang sebenarnya, ataupun berusaha menjadi orang lain hanya untuk mendapatkan penerimaan sosial.
Be Your Self Guys!


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perempuan dengan Pilihan untuk Menulis (Hanya Menulis Saja! Titik!)

Perempuan dan Pilihan-Pilihan: Menarasikan Pilihan “Waithood” dan “Childfree”

Tugas Akhir Menggapai Gelar: Perjuangan, Perayaan, dan Penelitian