HARDIKNAS DAN BELAJAR DARI COVID-19 : APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN?


Tanggal 2 Mei 2020 adalah Hari Pendidikan Nasional yang istimewa. Mengapa ? Karena mengikuti upacara dari rumah, tepatnya dari layar televisi. Yah dari stasiun TVRI. Tapi yang mau saya tekankan adalah Tema HARDIKNAS tahun 2020 yaitu “ Belajar dari Covid-19”. Memang saya banyak belajar di tengah pandemi ini. Terdapat normalitas baru yang terbentuk dan entah mengapa saya harus beradaptasi dengan kondisi tersebut. Sebuah ruang yang berpindah atau bertransformasi. Saya tidak lagi mengajar di ruang kelas. Saya tidak lagi bergegas ke kelas dengan menaiki berpuluh bahkan mungkin ratusan anak tangga atau mengantri lift agar tidak kelelahan (atau memang lagi malas naik tangga). Tapi sejujurnya ada rasa rindu untuk kembali mengajar di kelas dengan bertatap muka secara langsung. Saya merindukan kampus dengan dinamika interaksi dan relasi yang terjalin beserta permainan makna tindakan antar individu juga kelompok. Budaya berkerumun dan berkumpul untuk saling menstimulan ide-ide, pengetahuan dan retorika yang begitu indah. Disaat itulah proses pendidikan bisa terjadi dengan lenturnya dan punya makna estetika tersendiri.
            Deskripsi diatas sebaiknya disimpan dulu dan akan diaplikasikan bila waktunya tiba. Sebaiknya, saya berfokus kembali ke maksud tulisan ini, yaitu saya mau memaknai tema HARDIKNAS “Belajar dari Covid-19”. Apa yang saya belajar dari virus ini ? Siswa-siswa kelas akhir lulus tanpa ujian, Ujian proposal dan skripsi secara online atau wisuda online ? Saya pernah membaca di media sosial (lupa referensi pastinya) ada yang mengatakan bahwa virus ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan saja di sekolah atau ruang kelas tapi bisa dimana saja. Sebagian mengatakan virus ini membawa kembali anak-anak untuk kembali pada orang tua sebagai guru yang paling awal dan terutama. Pihak yang lain mengatakan virus ini membawa kemajuan dalam bidang pendidikan dimana belajar atau kuliah online bukan lagi sesuatu yang “wah” karena sudah menjadi kebiasaan. Para pengajar atau pendidik ditantang sekalian dituntut untuk beradaptasi dengan model pengajaran yang canggih, jarak jauh, kreatif dan inovatif.
Namun, bagaimana dengan para pengajar yang berada di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kemajuan teknologi dan belum dijamah oleh signal provider telekomunikasi. Dapat dikatakan mereka harus berusaha dengan cara sendiri. Maka, kesenjangan dalam praktik pendidikan pun terjadi. Apakah kita harus berseteru kembali dengan problema khas negara berkembang? Yah kesenjangan dan gap, atau distingsi ketika ruang dan arena tidak memiliki modal kultural, modal sosial dan modal ekonomi yang seimbang (saya mengungkit sedikit Bordieu). Sebenarnya, saya tidak bermaksud melakukan kajian teoritis. Karena tulisan ini hanya bagian ungkapan hati (hehehe..)
Dalam tulisan ini pun, saya tak mau bahas online atau kehidupan digital saat ini. Apalagi bahas distingsi atau kesenjangan kelas sosial. Meski problema dan tema-tema itu yang saya senangi. Saya mau merefleksikan apa yang seharusnya saya lakukan bila harus belajar dari virus Covid-19.
Saya pun menarik kesimpulan yaitu mau belajar dari virus Covid-19 yang bisa menyebar begitu cepat dan memiliki efek global. Saya mau belajar menjadi pendidik yang memiliki dampak seperti virus Covid-19 dimana bisa menyebar, mempengaruhi orang banyak dan efeknya di tingkat global. Pada bagian ini saya banyak belajar dari orang-orang yang mendidik (saya), teman-teman pendidik, dan mahasiswa-mahasiwa. Intinya orang-orang sekitar saya. Mereka memberikan virus kepada saya untuk terus belajar. Kayaknya saya tidak bisa menyebut satu-satu. Tapi akan diungkapkan secara implisit.
Saya belajar dari dosen-dosen saya yang menyebarkan virus bagi saya untuk berani menembus batas dan fokus pada tujuan. Belajar menjadi pelajar yang tidak perlu banyak alasan atau membesar-besarkan masalah. Sebaliknya harus menjadi pelajar yang memperlebar asa dan tidak pernah putus asa. Tidak mempedulikan cibiran dan menghentakkan pikiran dengan ide-ide kritis. Mereka menyebar virus kepada saya untuk tidak menjadi orang yang picik dalam ilmu. Tapi menggunakan ilmu secara praxis untuk membantu dan memberdayakan wong cilik. Saya ingat betul salah satu dosen saya bilang kalau nanti ada rencana jadi peneliti, jangan hanya menjadikan masyarakat yang diteliti sebagai objek, kita dapat keuntungan dan nama besar, tapi mereka tidak dapat apa-apa. Bila kita meneliti harus berguna menjawab masalah sosial dan masyarakat yang kita teliti bisa merasakan manfaatnya. Jangan terus berada diatas menara gading gitu loh!   
Saya belajar dari teman-teman pendidik yang menyebarkan virus teruslah bersemangat dalam keadaan apapun. Tidak cepat puas dan keingintahuan yang tinggi. Apalagi bersikap kritis dan proaktif disaat kondisi tak stabil dan alur cerita yang kadang tak pasti. Virus yang tersebar begitu kuat yaitu rasa solidaritas, kebahagiaan di masa sulit dan ide-ide kreatif yang timbul (tiba-tiba). Pergolakan atas diri, keluarga dan lingkungan kerja bukan menjadi hambatan, malahan menjadi motivasi dan fondasi erat merekatkan persaudaraan meski tanpa hubungan darah. Belajar mengolah waktu ketika berusaha bersama dikejar deadline dan kerjaan yang tumpang tindih. Tapi semakin ditekan malah semakin bergerak untuk maju dan pantang menyerah.
Saya belajar dari para mahasiswa yang kadang begitu polos, naif dan menerima keadaan meski mereka tidak mau. Belajar menyebar virus keceriaan mereka yang tak pernah putus. Cerita-cerita khas anak muda tentang pergaulan, keinginan untuk maju, dan cita-cita masa depan. Mereka belajar untuk mengejar impian dan menjadikan orang tua sebagai panutan. Saya belajar dari cara mereka memberikan apresiasi atas setiap keberhasilan dan pencapaian. Begitu juga persahabatan dan permainan perasaan yang mereka lakukan menjadi alarm bahwa hidup tidak selamanya lurus.
Begitulah banyak hal yang dapat kita sebarkan sebagai individu atau kelompok bagai suatu virus di tengah masyarakat dimana kita berada. Belajar lagi dari Covid-19, pasti ada yang berdukacita karena virus ini, tapi ada sebagian orang yang bergembira karena virus ini. Kita tidak bisa memaksa respon yang sama dari setiap orang dalam menghadapi situasi ini. Demikian halnya sebagai manusia kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk menyukai kita atau menghadapi kita dengan respon beragam (maafkan bila analogi ini terkesan absurd). Sekarang, apa yang harus dilakukan ? berarti belajarlah dari Covid-19 yang menyebar dan memiliki efek global, tentunya dari sisi positif (meski terkadang ada negatifnya). Namun, kita pasti berharap menjadi virus yang positif dimana orang-orang berkumpul untuk mendekat. Kita tidak ingin menjadi virus yang menguraikan kerumunan apalagi membuat semua orang #StayAtHome. Jadi, berusahalah sebarkan sisi terbaikmu!

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan dengan Pilihan untuk Menulis (Hanya Menulis Saja! Titik!)

Perempuan dan Pilihan-Pilihan: Menarasikan Pilihan “Waithood” dan “Childfree”

Tugas Akhir Menggapai Gelar: Perjuangan, Perayaan, dan Penelitian