Ruang yang Berubah dalam Proses Menuju Normalitas Baru
Sebenarnya
bingung harus mencari judul apa yang cocok dengan tulisan saya ini. Setiap hari
saya menikmati istilah yang lagi menjadi tren saat ini “new normal era”. Tidak
bisa saya bayangkan apa yang akan terjadi dalam kehidupan sosial tersebut.
Meskipun, sebagian besar pemberitaan media baik offline dan online menyajikan
istilah itu secara intens dan secara tak sadar mempengaruhi alam bawah sadar.
Sehingga, saya harus memikirkannya dan mencoba mengimajinasikan apa yang harus
dilakukan untuk menjadi “normal” baru. Tapi, sepertinya ini hal yang penting
karena mimbar akademis mempersoalkan dan melakukan telaah ilmiah yang serius
untuk mengkaji masalah ini. Situasi ini membuat saya harus peka bahwa adaptasi
diri harus berjalan.
Bila saya mengkaitkan masalah normal
baru ini sebagai salah satu implikasi sosial dalam masyarakat yaitu jalinan
relasi sosial baru. Kita harus menjalin hubungan diantara anggota masyarakat yang
berjarak dan saling melindungi diri dengan protokoler kesehatan yang ketat. Disisi
lain, banyak ruang sosial atau ruang publik yang digandrungi sebagai titik poin
bertemunya orang-orang dibuka secara terbatas dan sebagian ditutup atas nama
kemanusiaan. Dalam tulisan ini pun, terdapat beberapa hal sederhana yang akan
dibagikan dari sudut pandang saya berdasarkan pengalaman di lapangan.
Pertama, ketika warung kopi
tutup lebih awal yang biasanya bisa lewat tengah malam. Warung kopi memang menjadi
salah satu titik kumpul dari masyarakat urban, khususnya anak muda. Relasi sosial
yang terjalin secara konstruktif karena disitulah titik kumpul dan berbaurnya
berbagai narasi khas anak muda. Ide-ide cemerlang menyeruak di setiap seruput
kopi yang pahit manisnya membawa keseimbangan jiwa. Nalar yang beradu karena
argumentasi saling bertanding untuk mengurai makna dari objek yang menjadi
fokus pembicaraan. Namun, kondisi yang baru membuatnya berbeda karena waktu
berada di warung kopi menjadi terbatas. Lagi asyiknya diskusi dimana ide mengalir
lagi deras-derasnya, secara tiba-tiba sang pemilik mendatangi kerumunan yang
lupa waktu tersebut untuk beranjak. Yah, warung kopi sudah memiliki batas.
Implikasinya, jangka waktu untuk beradu ide harus dirangkai secara padat agar
tidak berhenti sebelum klimaks.
Kedua, pusat perbelanjaan
sebagai etalase konsumsi dan panggung untuk persaingan gaya hidup yang begitu
riuh berubah menjadi ruang senyap. Masyarakat konsumsi hanya diberikan ruang
untuk membeli kebutuhan “pokok” dan secara tidak langsung bergeser pada praktik
konsumsi digital. Meskipun demikian, kenikmatan konsumsi digital hanya bisa
dinikmati oleh sebagian orang dari kelas tertentu. Disinilah permainan “kartu
sakti” dimulai dengan rentetan nomor dan alogaritma untuk pemenuhan konsumsi
dalam ruang online. Masa normalitas baru ini, menggeser etalase konsumsi dalam
pasar digital atau mall online. Dinamika gaya hidup ditampilkan dalam postingan
media sosial yang semakin ramai dengan postingan “terima kasih kakak, barangnya
…”, “barangnya sudah sampai sis..”. Dalam hal ini, tidak akan menyalahkan
kapitalisme karena perekonomian lagi sulit. Maka, jualan online dapat menjadi solusi
di masa sulit. Tapi sekali lagi, solusi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang adaptif dengan kemajuan digital. Mereka yang tidak adaptif dan responsif
dalam perubahan yang cepat ini, yah mungkin selamat tinggal di belakang. Kalau
tidak mau memodifikasi kebiasaan dengan kebiasaan baru ini.
Ketiga, sudut kawasan Megamas masih
menjadi “pemenang” sebagai pusat keramaian masyarakat Manado. Lebih tepatnya di
depan kedua restoran junk food yang tersohor di kawasan Megamas. Sepasang
anak muda berpacaran, kumpulan anak muda bermain alat musik sambil bernyanyi,
sebagian anak muda melakukan berbagai gaya untuk konten Tik Tok mereka,
dan yang lain menikmati pemandangan. Terdapat beberapa keluarga yang menikmati
kebersamaan sambil makan bersama juga tak lupa mengambil foto untuk kenangan. Di
dekat pinggiran pantai terlihat deretan mobil diparkir dengan mesin menyala dan
tentunya ada orang di dalam yang menikmati berjalannya waktu. Tapi, hal yang
perlu diketahui bahwa jarak menjadi prasyarat untuk tetap menikmati kebersamaan
di sudut ini. Hal terpenting lagi, keramaian yang ada tidak terjadi seperti
kondisi sebelum wabah. Masih ada berbagai ruang kosong bagi mereka yang mau
menikmati kesendirian dan menjernihkan pikiran dari hiruk pikuk kota.
Pada intinya, berbagai ruang
sosial diharuskan berubah atau bergeser agar dapat diterima menjadi bagian dari
normalitas baru. Dikarenakan, kita tidak bisa memprediksi masa depan secara
pasti tetapi bisa mempersiapkan diri dengan bijak. Berbagai stimulan hadir
untuk perubahan atau transformasi, begitu juga manusia sebagai individu dan
bagian dari masyarakat harus siap untuk mengimbangi dinamika tersebut. Selamat menikmati
proses yang dinamis ini! Selamat menyambut “normalitas baru”!
*Tulisan dari pinggir kawasan Megamas sambil menikmati semilir angin. Juga, dinginnya malam yang merangsang untuk berbagai hal dan saya menerima rangsangan itu untuk menulis.
Sukakk😍 Terima kasih tulisannya mem 🙏
ReplyDeleteTerima kasih jessy atas apresiasinya,
DeleteMantul skali mem pe judul deng tulisan😍😎
ReplyDeleteTerima kasih, smoga bisa dinikmati :)
Delete