Mengkaji Tipis-Tipis Seksualitas

Mengangkat isu seksualitas dalam pemikiran kontemporer, namun harus bersinggungan dengan penyelidikan secara lebih mendalam atas studi seksualitas klasik menjadi sangat ambivalen. Maka, terjadi perbedaan dalam menempatkan seks dalam penelitian dan saat ini adanya kecenderungan untuk membahas masalah seksualitas disesuaikan dengan kriteria atau minat dari para peneliti atau pakar dalam masalah seksualitas. Kajian seksualitas pun menjadi begitu beragam. Tetapi, ketika menulis soal kajian seksualitas ada saja yang jadi penghalang, karena sering dijebak dalam aturan normatif yang secara vulgar merengggut kebebasan akademis. Apalagi sekarang lagi panas-panasnya dunia virtual membahas kelas or***me di pulau yang terkenal pariwisatanya. Tapi, saya tidak membahas itu, terdapat tiga bagian tulisan berdasarkan bagian buku yang saya sadur, atau saya "review" pertama soal interseks, binerisme homoseks dan heteroseks, dan mempertanyakan seks secara singkat. Penjelasan dalam artikel ini begitu singkat, karena tujuannya memantik pemikiran orang-orang yang mau membaca, yang saya paksa membaca dan yang mungkin terjebak dengan tulisan ini.   

1.-Menghitung Keberadaan Kelamin Yang Tidak Diperhitungkan-

Kita mulai dari bagian pertama yang membingungkan mengenai pandangan terhadap jenis kelamin. Bila kita mempertahankan normalitas dalam memandang jenis kelamin yang diakui hanya dalam dua jenis, yaitu laki-laki (male) dan perempuan (female) disangsikan oleh Anne Fausto Sterling. Dikarenakan adanya kehidupan seksual yang dipinggirkan karena tidak diperhitungkan dalam normalitas tersebut. Suatu sisi yang “ideal” pun muncul yaitu seharusnya jenis kelamin berjumlah lima (dan mungkin lebih lagi). Sehingga kita tidak memperhatikan adanya kehidupan seksual yang berbeda bagi mereka yang lahir dengan alat kelamin ganda atau “ketidakjelasan” dalam organ seks. Hal inipun yang harus disadari masyarakat akan keberadaan kaum Inter-sex (interseks).  

Secara lebih jelas, interseks dibagi atas tiga kelompok dengan beberapa campuran dari karakteristik perempuan dan laki-laki, yaitu, the true hermaphrodites (the herm), the male psuedohermaphrodites (the “merms”), dan the female psuedohermaphrodites (the “ ferms”). Dua kelamin yang diakui ditambah dengan tiga jenis hermaphrodit maka genaplah yang dikemukakan Sterling, bahwa adanya lima jenis kelamin. Para interseks atau hermahrodit tersebut memiliki karakteristik seksual campuran, baik dari sisi organ genital maupun kepemilikan sistem kromosom atau hormonal. Namun, berbagai permasalahan yang khusus dialami oleh para interseks kurang diperhatikan oleh para ilmuwan atau pakar. Sehingga Sterling pun mengajukan bahwa para interseks sebenarnya berhak untuk menerima perawatan khusus sebagai jenis kelamin tambahan.

Dibalik itu juga para interseks kerapkali mengalami kesulitan dalam mencapai kepuasan seksual dikarenakan ketidakjelasan kelamin. Berbagai kompleksitas yang ada dalam diri para  interseks juga membawanya tidak hanya pada dualisme seksual, namun diperhadapkan dengan kebingungan atau “ancaman” dari pihak medis, agama, hukum, masyarakat begitupun pemerintah negara. Seperti berbagai kasus yang digambarkan Sterling dalam tulisannya, dimana terancam tidak memiliki hal pilih dalam kerangka aktivitas politik. Disisi lain, kisah seorang interseks yang memiliki kecenderung penampilan seperti perempuan menikah dengan laki-laki namun tidak mendapat kepuasan seksual, sehingga mengharuskan dia menjalin hubungan dengan perempuan untuk mendapatkan kepuasan seksual.             

Dibalik itupun kekakuan dalam memandang jenis kelamin yang hanya dua tersebut, mendiskualifikasi pihak-pihak yang memiliki kehidupan seksual yang “spesial” tersebut atau para interseks. Maka jalan alternatif yang sering ditemui atau harus dijalani agar supaya masyarakat menerima keberadaan mereka dan dikatakan “normal” yaitu mempercayakan masalah seksualitasnya pada pihak medis dan psikologis. Selanjutnya, Sterling menyentuh permasalahan interseks yang terjadi pada anak-anak dan keberanian orang tua untuk menghadapi hal tersebut, karena juga masa kanak-kanak adalah awal sebelum seseorang memasuki kehidupan sosial di tengah masyarakat. Untuk lebih jelasnya kita bisa menambah wawasan dengan membaca buku mengenai interseks. :D

 

2.     

-Mempertanyakan Terminologi Pembeda Diantara Homoseks dan Heteroseks-

            Dalam bagian ini kita bertemu dengan Katz, dia mempertanyakan terminologi yang membedakan antara homoseksual dan heteroseksual. Namun baginya hal itu adalah perbedaan yang dibuat dari standar prokreasi. Terlebih lagi perbedaan atau oposisi biner yang terdapat dalam homoseksual dan heteroseksual adalah hasil dari konstruksi dari berbagai aspek dari kedokteran medis, karya sastra (novel), sampai konstruksi sosial yang radikal. Kemudian dibalik kontruksi tersebut hanya terdapat pandangan dari pihak heteroseksual. Seperti yang digambarkan dalam tulisan Katz bahwa para dokter heteroseks sukses mengadvokasi dalam kontruksi dan distribusi standarisasi atas maskulinitas dan feminitas. Sekaligus juga dalam karya sastra (novel) yang menyebutkan adanya segregasi seksual antara normal dan abnormal. Hal itu menjadi bukti hirarki erotisme seksual dimana heteroseks menjadi superior atas homoseks yang inferior.    

            Dengan demikian, sebutan normal dan abnormal pun diangkat dan diperdebatkan dalam berbagai ranah, khususnya oleh para ilmuwan atau peneliti. Terjadi perdebatan mengenai asal muasal diantara historis atau ahistoris berkaitan dengan distingsi tersebut. Ditekankan Katz bahwa heteroseksual dan homoseksual mengacu pada kelompok, identitas, dan bahkan sikap dan pengalaman memiliki limitasi waktu, juga fenomena modern secara spesifik distruktur secara institusional. Para peneliti juga pada umumnya setuju bahwa kategori seksual dan gender, identitas seksual komunitas, makna, dan institusi adalah historis dan berubah setiap waktu.

            Akan tetapi seringkali yang tersebar dan diaplikasikan adalah konstruksi historis dari para heteroseks. Sehingga para homoseks terus-menerus dianggap sebagai bagian ketidakwajaran. Maka, Katz pun menyatakan konstruksi sosial mengenai heteroseks dan homoseks tidaklah sebenarnya nyata atau dilegitimasi, karena itu semua hanyalah sebatas konstruksi, bukan juga takdir secara biologi. Sehingga kita harus menyadari bahwa secara historis terdapat juga gender, afeksi, dan erotisme yang beragam dimasa lalu.

3.    

-Mempertanyakan Seks-

            Permasalahan seks memanglah sangat sulit dijangkau, sehingga para peneliti di bidang seks seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh beragam informasi. Namun, itulah berbagai tantangan yang harus ditemui dilapangan. Hal itupun yang diungkapkan oleh Eriksen dan Steffen yang mencari seksualitas yang bebas dari represi sosial. Disisi lain bagi Foucault lebih pada menciptakan kebebasan yang nyata dengan lebih memperhatikan normalitas seksual dan berusaha merubah pengertian dari normal. Meski usaha mereka untuk memandang seks tanpa intimidasi normativitas masih harus diperdebatkan dan dikaji ulang.

            Selanjutnya dari bagian ini kita dibawah untuk melihat berbagai metode yang dipakai oleh peneliti dalam mempertanyakan masalah seksual dalam masyarakat. Metode kualitatif berbasis data subjektif yang dinarasikan atau diuraikan cenderung lebih menarik. Selanjutnya peneliti harus berusaha untuk menghindari bias yang mempengaruhi kredibilitas data. Di lain pihak terdapat sebagian peneliti yang melakukan penelitian cenderung menggunakan penelitian survey dengan berbagai teknik pengumpulan data atau sampel. Namun kembali lagi dipermasalahkan mengenai bias dan objektivitas, maka subjektivitas peneliti harus direduksi dalam berbagai bagian yang ada dalam daftar pertanyaan. Namun, ditekankan Erikson dan Steffen para peneliti harus memliki pengertian terhadap yang diteliti, agar memudahkan eksplanasi mengenai seks. Karena membicarakan atau mempertanyakan seks adalah sesuatu yang sensitif dan penuh bias khususnya mengenai latar belakang sosial dan budaya. 

 

4.     CATATAN

Dengan demikian, persoalan seksualitas saat ini menjadi hal yang begitu kompleks dan krusial. Seperti berbagai kasus yang diangkat dari interseks, terminologi homoseks dan heteroseks sampai membicarakan seks dalam kerangka ilmiah. Beberapa gambaran dari sudut pandang saya mengenai tulisan ini.

Pertama, interseks adalah bagian dari ketidaknormalan dalam budaya heteroseks maka hal itu mengakibatkan mereka diperangkap dalam stigma ketidaknormalan. Memaksakan interseks untuk menjadi bagian identitas seksual “normal” merupakan tindakan represi pasif namun terkontrol khususnya dari berbagai bidang keilmuan medis dan psikologis. Dengan begitu diharuskan adanya dekonstruksi atau meredefinisikan interseks bagi dari medis dan psikologis. Tentunya juga dalam ranah sosial.

Kedua, homoseks dan heteroseks suatu binerisme yang terus berlanjut dan diperdebatkan. Tidaklah cukup hanya dikaji dalam sisi psikologis ataupun sosial. Karena seringkali akan berbenturan dengan keharusan normatif dan agama. Namun, masalah terminologi perlu dikembangkan juga dalam subjektivitas homoseks agar mereka dapat membangun terminologinya sendiri.

Ketiga, mempertanyakan soal seks kalau hanya berputar pada pusaran permasalahan objektivitas tidak pernah menemui titik akhir. Namun, sebenarnya penelitian soal seks sebaiknya ditekankan pada pengalaman subjektivitas informan dan peneliti sebagai instrumen dengan berdasarkan pengertian satu sama lain. Semoga kajian seksualitas mengalami dinamika yang konstruktif.      



Catatan paling akhir:
Tulisan ini hadir dikarenakan melakukan "review" buku yang berjudul "Sexualities: Identities, Behaviours, and Society" yang disunting oleh Michael S. Kimmel dan Rebecca F. Plante, terbitan: Oxford University Press; 2014.  





Comments

  1. Replies
    1. Isu penting yang perlu trik khusus utk "membumikan" ke dlm pemahaman masyarakat :D

      Delete
  2. Di masyarakat yg cenderung sok suci, msh susah membicarakan hal-hal yg berkaitan dg seksualitas apalgi interseks. Tulisan spt ini penting utk trus diangkat spy bisa membiasakan dan mendidik masyarakat👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, nanti ada tulisan selanjutnya, semoga bisa mengedukasi ;)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perempuan dengan Pilihan untuk Menulis (Hanya Menulis Saja! Titik!)

Perempuan dan Pilihan-Pilihan: Menarasikan Pilihan “Waithood” dan “Childfree”

Tugas Akhir Menggapai Gelar: Perjuangan, Perayaan, dan Penelitian